Kamis, 09 Mei 2013

AL-ISTIHSAN SEBAGAI DALIL HUKUM





I.       PENDAHULUAN
Sumber hukum islam yang disepakati ulama’ adalah al Qur’an, Hadits, Ijma’. Qiyas. Jumhur ulama’ menyepakati keempat sumber hukum ini. Namun demikian masih terdapat beberapa ulama’ yang tidak sepakat terhadap kehujahan qiyas dengan beberapa alasan.
Seiring perjalan waktu, perkembangan teknologi dan pengetahuan begitu pesat terjadi, sehingga muncul banyak permasalahan-permasalahan baru yang terkadang tidak cukup dengan keempat sumber hukum di atas. Atas dasar demikian muncul setelahnya beberapa metode istinbath hukum yang pada kelanjutannya diklaim sebagai sumber hukum yang dipercaya. Kemunculan sumber hukum yang baru tidak serta-merta diterima keabsahannya, sehingga tidak heran pro dan kontra tetap bermunculan bahkan hingga saat ini. Terlepas dari pro konta yang terjadi, jika melihat dari situasi dan kondisi masa ini modifikasi terhadap hukum islam merupakan sebuah keniscayaan.
Di antara sumber hukum yang baru itu adalah istihsan. Istihsan yang merupakan dalil syariat yang prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat, tentunya sangat dibutuhkan untuk setidaknya meredam permasalahan-permasalahan baru yang terjadi. Karena jika tetap berpegang pada sumber hukum yang empat dengan fanatisme buta, otomatis agama akan ditinggalkan karena tidak bisa mewadahi permasalahan-permasalahan baru yang terjadi.
Metode yang ditawarkan istihsan cukup konflek kendati tetap membutuhkan pengembangan-pengembangan yang signifikan. Jamal Ma’mur Asmani misalnya memandang bahwa istihsan merupakan keniscayaan untuk menerapkannya pada masa ini, hal itu mencakup seluruh bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya) tentunya dengan modifikasi-modifikasi yang tidak bertentangan dengan syariat agama.
Dalam makalah sederhana ini, penulis akan membahas tentang istihsan, hal itu terkait dengan definisi dan pro kontra yang terjadi terhadapnya. Tidak ketinggalan pula kita akan mengkaji tentang pentingnya istihsan dalam kehidupan sekarang ini, yang mana kita temukan banyak sekali permasalahan-permasalahan kontemporer yang membutuhkan ijtihad hukum yang baru.
II.    PEMBAHASAN

A.    Pemahaman Istihsan
Istihsan merupakan salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya, para ulama menggunakan istihsan dalam arti lughawi (bahasa), yaitu “berbuat sesuatu yang lebih baik”. Tetapi dalam pengertian istilahnya, para ulama berbeda pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan mendefenisikan istihsan itu.
Ulama yang menggunakan metode istihsan dalam berijtihad mendefinisikan istihsan dengan pengertian yang berbeda dengan definisi dari orang yang menolak cara istihsan. Demikian juga dengan ulama yang menolak penggunaan istihsan mendefinisikan istihsan dengan pengertian tidak seperti yang didefiniskan pihak yang menggunakannya. Seandainya mereka sepakat mengartikan istihsan itu, maka mereka tidak akan berbeda pendapat dalam menggunakannya sebagai suatu metode ijtihad.[1]
Istihsan secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu استحسن  - يستحسن - استحســـانا yang berarti memperhitungkan dan meyakini sesuatu itu baik,[2]atau mengikuti sesuatu yang baik menurut perasaan dan fikiran.[3] Makna yang hampir sama juga dipakai oleh Al-Sarakhsi, yaitu:
طلب الأحسن للاتـــباع الذى هو مأمور به[4].
“Berusaha mendapatkan yang terbaik untuk diikuti bagi suatu masalah yang diperhitungkan untuk dilaksanakan.”
Dari arti etimologi ini terlihat adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang dianggapnya lebih baik untuk diamalkan.
Adapun pengertian istihsan secara terminologi berikut akan dikemukakan beberapa pandangan ulama ushul dari kalangan empat mazhab dan lainnya:
            1.      Istihsan dalam pandangan ulama Hanafiyah
             Ulama Ushul Hanafiyah mendefinisikan istihsan dalam dua rumusan:
a)      العمل بالاجتهـــاد وغالب الرأي فى تقدير ما جعله الشرع موكولا إلى آرائنـــــــــــا                 
“Berijtihad dengan segenap fikiran dalam menentukan sesuatu yang oleh syari’at menyerahkannya kepada pendapat kita.
b)      الدليل الذى يكون معارضا للقيـــاس الظاهر الذى تسبق إليه الأوهــام قبل إنعام التأمل فيه، وبعد إنعام التأمل في               حكم الحادثة وأشباهها من الأصول يظهر أن الدليل الذى عارضه فوقه فى القوة فإن العمل به هو الواجب.[5]
“Dalil yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului dengan prasangka sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil itu, setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu ternyata dalil yang menyalahi qiyas zahir itu justru lebih kuat dan oleh karenanya wajib diamalkan.”   
Al-Karkhi sendiri (seorang pengikut mazhab Hanafi) mendefinisikan istihsan sebagai:
أن يعدل الإنســان عن أن يحكم في المسألة بمثل ما حكم به في نطائرها إلى خلافه لوجه يقتضي العدول عن الأول.[6]
“Berpindahnya manusia (mujtahid) dalam menetapkan hukum terhadap satu masalah dari hukum yang sebanding dengannya kepada hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat menghendaki perpindahan dari hukum awal tersebut.”
           Al-Sarakhsi sendiri merumuskan istihsan itu paling tidak mencakup empat hal:
-          ترك القياس والأخذ بما هو أوفق للناس (meninggalkan qiyas dan mengambil hukum yang lebih sesuai dengan manusia)
-          طلب السهولة في الأحكام فيما يبتلى فيه الخاص والعام (mencari kemudahan dalam hukum-hukum yang dihadapi orang banyak atau orang tertentu)
-          الأخذ بالسعة وابتغاء الدعة (mengambil keluasan dan mencari kelegaan)
-          الأخذ بالسمـــــاحة وابتغاء ما فيه الراحة[7] (mengambil yang permisif dan memilih yang di dalamnya ada ketenangan).
Definisi istihsan pertama yang berlaku di kalangan ulama Hanafiyah di atas tidaklah menyalahi sesuatu apapun dan semua ulama sepakat terhadapnya, karena pengertian “yang terbaik dalam hal ini adalah dia antara dua hal yang kita dapat menentukan pilihan, karena syara’ telah memberikan hak pilih pada kita. Contohnya penetapan ukuran mut’ah (pemberian hadiah) dari suami yang menceraikan isterinya sebelum dicampuri dan sebelumnya belum ditetapkan maharnya. Memberikan mut’ah itu wajib, yang ukurannya menurut kemampuan suami dengan syarat harus sesuai dengan “kepatutan”. Tentang ukuran patut itu sendiri diserahkan kepada apa yang lebih baik berdasarkan pendapat yang umum.
Dalam definisi kedua terkandung adanya pembenturan dalil dengan qiyas zahir. Semula ada prasangka lemah pada dalil itu karena belum diadakan penelitian yang mendalam, namun setelah diteliti secara mendalam ternyata dalil itu lebih kuat daripada qiyas. Dalam hal ini dipandang lebih baik menggunakan dalil itu daripada menggunakan qiyas yang menurut lahirnya kuat. Meninggalkan beramal dengan qiyas untuk mengamalkan dalil itu disebut “istihsan” menurut ulama Hanafiyah.
Sedangkan definisi yang dikemukakan oleh Al-Karkhi, pada dasarnya tidak jauh berbeda dari definisi yang kedua. Istihsan itu menurut Al-Karkhi adalah berpindahnya dari hukum awal kepada hukum yang lebih kuat, kekuatannya itu adalah karena  “dalil” bukan karena hukumnya (بأن القوة لأدلة لا للأحكام).[8]
Adapun definisi yang dirumuskan oleh Al-Sarakhsi dapat disimpulkan bahwa istihsan itu pada hakikatnya dua buah qiyas, pertama qiyas jali yang lemah pengaruhnya ini disebut dengan qiyas yang sesungguhnya, kedua qiyas khafi (tersembunyi) namun pengaruhnya kuat, inilah yang disebut dengan istihsan, artinya qiyas yang diubah menjadi istihsan. Al-Sarakhsi mendefinisikan istihsan lebih memandang kepada tujuannya, yakni kemaslahatan dan kemudahan bagi manusia dalam menghadapi berbagai problem hidupnya.

            2.      Istihsan menurut Imam Maliki dan pengikutnya
Menurut Imam Malik sitihsan adalah:
العمل بأقوى الدليـــــلين ، أو الأخذ بمصلحة جزئية فى مقابلة دليل كلي. فهو إذن تقديم الاستدلال المرسل على القياس[9]
“Beramal dengan dalil yang terkuat di antara dua dalil, atau menggunakan kemasahatan yang bersifat juz’i sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli.”
          Ibn Al-Arabi (salah seorang pengikut Imam Malik) mengemukakan pendapatnya tentang istihsan, yaitu:
إيثار ترك مقتضى الدليـــل على طريق الاستثنـــاء والترخيص لمعارضة ما يعارض به في بعض مقتضياته[10]
Meninggalkan suatu dalil dengan cara pengecualian dan memakai dalil lain yang bertentangan dengannya dalam beberapa kasus.”
Imam Malik melihat istihsan itu sebagai kemaslahatan yang sifatnya juz’i, yang dinilai lebih baik untuk diambil dan diamalkan ketimbang kemaslahatan yang ada pada hukum sebelumnya. Sebab hukum awal tersebut tidak atau belum bisa mengaktualkan maqashid al-Syari’ah yang sifatnya memaslahatkan umat dalam kehidupannya. Sedangkan Ibnu al-Arabi menilai bahwa istihsan untuk hukum yang dipalingkan tersebut hanyalah bersifat pengecualian untuk kasus tertentu. Sedangkan untuk kasus boleh jadi masih bisa untuk dipakai.
           3.      Istihan Menurut Ulama Uhul mazhab Hanbali
a)      Al-Thufi dan bukunya Mukhtashar:
الاستحسان أنه العدول بحكم المسألة عن نظائرها لدليل شرعي خاص[11]
“beralihnya mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah dari yang sebanding dengannya itu karena adanya dalil syara’ yang lebih khusus.”
b)      Ibnu Qudamah dalam bukunya Raudhah an-Nazhirah merumuskan istihsan ke dalam tiga makna:
-          العدول بحكم المسألة عن نظائرها لدليل خاص من كتاب أو سنة (beralihnya mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah dari yang sebanding dengannya itu karena adanya dalil yang khusus dalam al-Qur’an atau sunnah).
-          ما يستحسنه المجتهد بعقله (sesuatu yang dipandang baik oleh mujtahid menurut akalnya).
-          دليل ينقدح في نفس المجتهد لا يقدر على التعبير عنه [12]  (dalil yang muncul dalam diri mujtahid yang ia tidak mampu untuk menjelaskannya).
Definisi istihsan pertama yang berlaku di kalangan ulama Hanbali di atas dapat disimpulkan bahwa seorang mujtahid tidak menetapkan hukum sebagaimana yang ditetapkan pada kasus yang sejenis dengan kasus itu karena ia mengikuti dalil lain dari al-Qur’an dan sunnah yang dinilai lebih khusus dan lebih cocok untuk diamalkan. Definisi pertama ini tidak paling cocok menurut mazhab Hanbali dan yang lainnya.
Adapun definisi kedua menilai bahwa istihsan itu merupakan penetapan sebuah hukum melalui penilaian akal semata. Dari definisi ini mungkin akan timbul keberatan dari ulama lain, karena apa yang dianggap oleh mujtahid lebih baik menurut akalnya itu belum tentu lebih baik menurut kenyataannya. Hal ini mungkin bisa disesuaikan dengan firman Allah: “Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216). Artinya, apa yang dipandang baik oleh akal manusia, belum tentu itu baik pada hakikatnya.
Terhadap definisi ketiga Al-Subki sendiri memberi komentar, bahwa jika dalil yang muncul dalam diri mujtahid itu nyata adanya, maka cara tersebut dapat diterima dan tidak ada kesukaran dalam menjelaskan dalil itu, akan tetapi bila dalil itu tidak benar atau menyalahi tujuan syara’, maka istihsan seperti itu ditolak. Al-Ghazali juga meragukan definisi yang ketiga ini dengan alasan bahwa sesuatu yang tidak bisa diungkapkan tentu tidak akan bisa ditentukan apakan dia hanya sebuah khayalan atau kenyataan. Ketika dia sudah nyata mesti disesuaikan dengan dalil sayara’ yang ada untuk bisa ditentukan apakan dia merupakan dalil yang sah atau tidak. Oleh karena itu kalau dia hukum yang tidak bisa ditetapkan bagaimana kebenarannya, lalu bagaimana bisa diketahui dia dalil yang bisa dipakai atau tidak?[13]
            4.      Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan istihsan sebagai:
عدول المجتهد عن مقتضى قياس جليّ إلى مقتضى قياس خفي، أو عن حكم كلي إلى حكم استـثنائي لدليل انقدح فى اعقله رجح لديه هذ العدول.[14]
“Berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (nyata) kepada tuntutan qiyas Khafi (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.
Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:
a)      Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut qiyas.
·         Qiyas: wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid haram membaca Al-Qur’an.
·         Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.
b)      Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil.[15] Misalnya, jual beli salam (pesanan) berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka
Dari definisi yang dikemukakan ulama ushul dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah di atas dapat disimpulkan bahwa istihsan menurut terminologi ulama ushul yang menyatakan istihsan ini sebagai sebuah dalil syara’ adalah beralihnya dari hukum yang telah ada dalil syara’nya kepada hukum yang lain karena adanya dalil syara’ lain yang mengharuskan pemalingan ini, dalil syara’ yang mengharuskan perpalingan ini disebut dengan itihsan.
Pada hakikatnya istihsan itu adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.
Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan  khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas. Alasannya adalah karena dengan cara itulah si mujtahid menganggapnya sebagai cara terbaik yang lebih banyak mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat.

B.     Macam-macam Istihsan
Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya. Hal ini dapat dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya, dan adakalanya dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
1)      Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya istihsan terbagi kepada tiga:
a)      Berpindah dari apa yang dituntut oleh qiyas zahir (jali) kepada yang dikehendaki oleh qiyas khafi. Artinya pentarjihan qiyas Khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata) karena ada suatu dalil.
Contoh: Fuqaha Hanafiyah menyebutkan, bahwa seorang pewakaf apabila mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara otomastis hak pengairan (irigasi), hak air minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa harus menyebutkannya, berdasarkan istihsan.
Menurut qiyas, semuanya itu tidak termasuk kecuali bila terdapat nash yang menyebutkannya sebagaimana jual beli. Segi istihsan ialah: bahwasanya yang menjadi tujuan dari wakaf adalah pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan kepada mereka. Pemanfaatan tanah pertanian tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya, saluran airnya, dan jalannya. Oleh karena itu, hal-hal tersebut juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan terealisir kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa menyewa.
Qiyas yang nyata adalah menyamakan wakaf dengan jual beli, karena masing-masing dari wakaf dan jual beli merupakan pengeluaran hak milik dari pemiliknya. Sedangkan qiyas yang khafi  menyamakan wakaf ini dengan sewa-menyewa, karena masing-masing dari keduanya dimaksudkan untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu pengairan, air minum, dan jalan masuk di dalam wakaf tanah, tanpa harus menyebutkannya.
b)      Berpindah dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus.
Contoh: tidak memotong tangan pencuri di waktu paceklik, yang menurut pemahaman umum terhadap ayat al-Qur’an (QS. Al-Maidah: 37) apabila seorang melakukan pencurian dan memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan, maka berlaku baginya hukuman potong. Namun, bila pencurian itu dilakukan pada masa paceklik, maka hukuman potong tangan yang bersifat umum itu tidak diberlakukan, karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus.
c)      Pengecualian juziyyah (kasuistik) dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.
Contoh: Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi syara’ memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitsna) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juzi, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
             2)      Ditinjau  dari segi sandaran atau dalil yang menjadi dasar dalam peralihan dari qiyas, maka istihsan ada enam macam:[16]
a)      Itihsan yang sandarannya nash. Dalam bentuk ini ketentuan umum dan qiyas tidak digunakan dan untuk selanjutnya yang digunakan adalah nash yang mengatur pengecualian itu. Seperti, menghukumkan tetap sah puasa orang yang makan atau minum karena terlupa. Hal ini berlandaskan kepada hadits Nabi saw: “Siapa saja yang makan atau minum karena lupa, maka janganlah ia berbuka, karena itu merupakan rizki yang dianugerahkan Allah.” Imam Abu Hanifah berkomentar terhadap kasus ini:  “Andaikata tiada nash yang tidak membatalkan puasa lantaran makan dan minum karena lupa, tentulah saya memandang batal puasa itu karena sudah rusak satu rukunnya yaitu menahan diri dari segala yang merusak puasa”.
b)      Istihsan yang sandarannya Ijma’. Yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma’. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebenarnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang ditetapkan. Misalnya, ketetapan ijma’ tentang sahnya akad istihshna’( pesanan ). Menurut qiyas semestinya akad itu batal sebab barang yang diakadkan belum ada. Akan tatapi, masyarakat seluruhnya telah melakukannya, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf am (tradisi) yang dapat mengalahkan dalil qiyas.
c)      Itihsan yang sandarannya adalah urf (adat). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya urf yang sudah yang sudah dipraktikkan dan dikenal baik dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaedah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang dipakai, akan tetapi apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan orang banyak. Oleh sebab itu secara istihsan boleh mempergunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang dipakainya, karena sudah berlaku umum dalam masyarakat.
d)     Istihsan karena darurat. Yaitu istihsan yang disebabkan karena adanya dlarurat (terpaksa) karena adanya suatu masalah yang mendorong mujtahid untuk meninggalakan dalil qiyas. Seperti apabila saksi-saksi yang telah meninggal atau yang jauh dari tempat atau karena tidak sanggup menghadiri sidang majlis, padahal menurut asal hukum kesaksian itu harus yang melihat dengan mata kepala sendiri, dibolehkan menggunakan kesaksian orang lain.
e)      Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi, yang pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi dibanding qiyas jali. Contoh:   sisa minum burung elang, gagak, dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan melalui sitihsan. Menurut qiyas jali sisa minum binatang buas seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu karena langsung meminum dengan mulutnya diqiyaskan kepada dagingnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut biantang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri dari tulang atau zat tanduk, dan tulang dan zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan daging dan air liurnya karena diantarai oleh paruhnya.
f)       Istihsan yang sandarannya maslahah. Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya. Maka untuk kemaslahatan orang tersebut, menurut kaidah istihan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
        3)      Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan yang dalam prakteknya dinamai dengan istislah. Dari hal ini mereka membagi istihsan kepada tiga macam:[17]
a)      Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan urf (kebiasaan). Misalnya, seseorang bersumpah tidak akan memakan daging, lalu ia memakan daging ikan, maka ia tidak dinamakan melanggar sumpah meskipun ikan itu dalam al-Qur’an termasuk dalam daging. hal ini terlihat dalam firman Allah: ومن كل تأكلون لحما طريا (dan dari semua yang kamu makan berupa daging yang lembut). Alasannya adalah karena dalam urf yang berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan tidak termasuk daging.
b)      Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan beramal dengan cara lain karena pertimbangan kemaslahatan manusia. Misalnya, tanggungjawab mitra dari tukang yang membantu memperbaiki suatu barang yang diperbaikinya itu rusak di tangannya. Berdasarkan qiyas, ia tidak perlu mengganti karena kerusakan barang itu di waktu ia membantu bekerja. Namun berdasarkan istihsan ia harus mengganti barang tersebut demi menjaga kemaslahatan, yaitu memelihara dan menjaga harta orang laian.
c)      Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberi kemudahan kepada umat. Misalnya, adanya sedikit kelebihan dalam menakar sesuatu dalam ukuran yang bnayak. Tindakan ini dibenarkan meskipun menurut ketentuan yang berlaku kalau menakar itu harus tepat (pas) sesuai standar takaran yang berlaku. 


C.    Kehujjahan Istihsan
Ada tiga golongan ulama dalam menanggapi istihsan ini apakah merupakan dalil hukum syara atau tidak:
Pertama, jumhur ulama ushul Fiqh dari mazhab Maliki, Hanafi, dan sebagian besar Hanbali menyatakan bahwa istihan adalah salah satu dalil syara’ yang menetapkan suatu hukum yang berlawanan dengan apa yang diwajibkan oleh qiyas, atau umunya nash.[18] Terutama Hanafiyah sangat mengutamakan istihsan yang dianggap lebih kuat dan memiliki dalil, serta meninggalkan qiyas. Hal ini terlihat dalam ungkapan Abu Hanifah: نستحسن هذا، وندع القيـــاس[19] (kami memakai istihsan untuk hal ini, dan meninggalkan qiyas). Ucapan Abu Hanifah ini diperkuat oleh Abu Al-Khattab dengan ungkapannya : “Saya menolak istihsan tanpa delil, dan menerimanya apabila ada dalil yang jelas dan meninggalkan qiyas”.[20]Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan, tetapi ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan yang dilakukannya itu. Oleh karena itu dia dikatakan menetapkan hukum hanya menurut kemauannya saja tanpa memakai metode. Asal sudah dipandang baik sudah bisa menjadi dasar penetapan hukum, karena demikianlah arti yang ditunjukkan oleh kata  isthsan itu. Banyak fuqaha yang tidak mengetahui hakikat  istihsan  yang dipraktekkan oleh Abu Hanifah, dan karena itu menurut Husain Hamid Hassan, berpegangnya Abu Hanifah kepada isthsan menjadi sumber kritikan terhadapnya. Malah sampai kepada mencelanya sebagai orang yang tidak mengetahui fiqh dan meragukan kewarakannya.[21]
Setelah timbul kritikan-kritikan itu, maka para sahabat dan murid Abu Hanifah berusaha menjelaskan pengertian dan rumusan istihsan yang banyak dilakukan oleh imam mereka. Di antara mereka adalah Imam As-Syarkhasi,  yang mengarang sebuah kitab terkenal yang menjadi rujukan bagi pengikut mazhab Hanafi, bernama “Ushul al-Syarkhasi”. Mereka berusaha menjelaskan bahwa sesungguhnya isthsan itu tidak keluar dari dalil-dalil syarak. mereka mengatakan bahwa hakikat istihsan adalah dua macam qiyas. Pertama, qiyas jaly tapi lemah pengaruhnya, inilah yang dinamakan dengan qiyas. Kedua, qiyas khafi tapi pengaruhnya kuat, inilah yang dinamakan dengan istihsan, oleh karena itu dalam dua hal ini yang dipandang adalah pengaruhnya, bukan jelas atau tidaknya qiyas.[22] Pengaruh yang lebih kuat itulah yang menyebabkan Hanafiyah, Malikiyah dan sebagain Hanabilah lebih mengutamakan istihsan daripada qiyas. Atau dengan perkataan lain, pengutamaan istihsan daripada qiyas semata-mata didasarkan kepada pengaruh hukumnya, bukan didasarkan pada khafi atau jali-nya bentuk qiyas.
Bagi Hanafiyah dan Malikiyah pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang membuat tenang hati si Mujtahid. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum), dan ini juga disebut dengan segi istihsan.
Adapun dalil yang dipegang oleh ulama yang meyakini istihsan sebagai dalil hukum adalah:
-        فَبَشِّرْ عِباَدِيَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ....
”Berilah kabar gembira kepada hamba-hambaKu yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya....” (QS. Az-Zumar: 18)
-         وأمر قومك يأخذوا بأحسنـــــها.....
“Suruhlah kaummu (Musa) berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya...”(QS. Al-A’raaf: 145)
-         يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر..
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...”(Qs. Albaqarah: 185)
-        ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“ Sesuatu yang di pandang baik oleh umat islam, maka ia dihadapan allah juga baik” (HR. Ahmad ibn Hanbal)
Kedua, kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil syara’ dan menyatakan bahwa istihsan adalah menetapkan hukum dengan keinginan hawa nafsu semata. Kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil hukum ini adalah Imam Syafi’i dan pengikutnya, kelompok zahiriyah, Mu’tazilah, dan Ulama Syi’ah qathibah.[23] Imam Syafi’i  merupakan ulama yang sangat keras mengeritik isthsan tersebut. Kritikannya ini terlihat jelas dalam ungkapannya: من استحسن فقد شرع “Siapa yang memakai istihsan maka telah membuat sendiri hukum syara’..”[24]. Oleh karena itu bagi Syafi’i memakai istihsan dalam istinbath hukum adalah haram apabila dia bertentangan dengan khabar yang ada di dalam al-Qur’an dan hadits.[25] Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan Imam Syafi’i dinyatakan: “perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut sitihsan bahwa arah itu adalah arah ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah ka’bah itu.” Setelah Imam Syafi’i mengkritik Hanafi dan pengikutnya, lalu diikuti oleh Ulama dari ahli Theologi, mereka mengatakan bahwa bahwa istihsan adalah dalil yang rusak  dan tidak bisa digunakan sebagai metode mengistinbathkan hukum.[26]
Adapun landasan mereka mengkritik dan menolak dalil istihsan adalah:[27]
1)      Tidak boleh membuat sebuah hukum kecuali dengan nash atau dengan yang diqiyaskan dengan nash, karena hal terebut berarti membuat hukum syara’ dengan keinginan hawa nafsu. Allah Swt berfirman: وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهوائهم (dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka...(QS. Al-Maidah: 49 ).
2)      Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. tidak pernah berfatwa dengan menggunakan istihsan, akan tetapi dia menunggu hingga wahyu turun, walaupun sekiranya dia beristihsan itu adalah benar, karena dia berbicara bukan karena kehendak hawa nafsu.
3)      Istihsan itu dasarnya adalah akal, akal itu ada yang pintar ada yang bodoh, kalau sekiranya seseorang boleh beristihsan, berarti setiap orang boleh menetapkan hukum syara’ yang baru untuk dirinya sendiri.
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat mazhab Hanafi  berbeda dari istihsan menurut pendapat mazhab Syafi’i dan dan lainnya. Menurut mazhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut mazhab Syafi’i dan dan yang lainnya istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu Al-Syathibi dalam bukunya Al-Muwaafaqaat menengahi kedua kubu ini dalam ungkapannya: “Orang yang menetapkan hukum berdasarkn istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah swt. menciptakan syara’ dan sesuai  pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.”
kelompok ketiga, menyatakan bahwa istihsan memang merupakan dalil hukum syara’, akan tetapi dia bukan dalil yang berdiri sendiri, akan tetapi dia menopang kepada dalil syara’ yang lain, karena kerjanya adalah menguatkan qiyas yang ada atau beramal dengan urf, atau dengan maslahah. Pendapat ini dipegang oleh Al-Syaukani. Hal ini terlihat dalam ungkapannya: “Istihsan merupakan dalil syara’ yang tidak berdiri sendiri, yang pada dasarnya tidak memiliki manfaat, karena dia hanya menegaskan dalil yara’ yang telah ada sebelumya, ketika dia keluar dari dalil syara’ yang ada itu maka dia tidak bisa dijadikan dalil hukum lagi.”[28]
Menurut hemat penulis walaupun istihsan bukan suatu dalil yang berdiri sendiri, namun ia menyingkapkan jalan yang ditempuh sebagian ulama mujtahid dalam menetapkan dalil-dalil syara’ dan kaedah-kaedahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini untuk menghindari kesulitan dan kemudaratan serta menghasilkan kemanfaatan dengan cara menetapkan dasar-dasar syariat dan sunber-sumbernya.
D.    Relevansi Istihsan di Masa Kini dan Mendatang
Seperti yang telah dijelaskan bahwa istihsan itu digunakan oleh sekelompok ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan yang berlaku secara konvesional, seperti dengan menggunakan qiyas jali atau dalil umum menurut cara-cara biasa dilakukan. Dengan cara konvesional itu, ketentuan hukum yang dihasilkan kurang (tidak) mendatangkan kemaslahatan yang diharapkan dari penetapan hukum. Dalam keadaan demikian, si mujtahid menggunakan dalil atau pendekatan yang konvesional tersebut. Pendekatan yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang disebut istihsan.
Istihsan adalah suatu dalil yang terkuat menunjukkan bahwa hukum-hukum Islam adalah suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat yang diistilahkan sebagai fiqh waq’i bukan suatu fiqh khayali yang merupakan fiqh bayangan sebagai yang digambarkan oleh sebagian oarang yang tidak mengetahui hakikat fiqh Islam atau ingin menjauhkan manusia daripadanya.
Dewasa ini dan lebih-lebih lagi pada masa yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin komplek, permasalahan itu harus dihadapi umat islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum islam. Kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode lama (konvesional) yang digunakan oleh ulama terdahulu untuk menghadapinya, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua permasalahan tersebut dengan baik (tepat). Karena itu, si mujtahid harus mampu menemukan pendekatan atau dalil alternatif di luar pendekatan lama. Oleh karena itu kecendrungan untuk menggunakan istihsan akan semakin kuat karena kuatnya dorongan dari tantangan persoalan hukum yang berkembang dalam kehidupan manusia yang semakin cepat berkembang dan semakin kompleks.[29] Dengan menggunakan dasar istihsan, kita dapat menghadapi masalah perbankan yang telah menjadi masalah yang sangat penting dalam masalah ekonomi.
Permasalahannya ialah Jika seseorang mendepositokan uangnya di bank, bolehkah ia menerima bunga depositonya? Apakah bunga deposito itu sama. dengan riba? Ketika kita bertanya kepada ulama yang, dari golongan apa saja. Ada tiga kemungkinan jawaban: boleh, tidak boleh, tidak tahu. Anehnya bila golongan yang ditanya --Muhammadiyah, Persis, NU jawabannya satu. Semua golongan itu sepakat (ijma') untuk menyimpan uangnya di bank dan memanfaatkan bunganya, tentu saja bagi kepentingan umat Islam. Bila diminta fatwa lisan atau tulisan, verba non acta, sekali lagi jawabannya akan beragam. Kebanyakan di antara umat Islam masih belum mendapat jawaban yang tegas dan memuaskan.
Ulama yang ditanya itu memang mengalami kesulitan dalam menetapkan status hukumnya. Deposito dan bunganya tidak dikenal di zaman Rasulullah saw. Mereka tidak menemukan nash --teks al-Qur'an atau Hadits-- yang menerangkan ketentuan hukum untuk deposito. Ada memang ketentuan tentang riba, tapi apakah riba sama dengan bunga deposito? Kesulitan seperti itu telah dihadapi para ulama sepanjang sejarah. Yang kita sebut syari'at pada mulanya hanya menyangkut masalah keluarga, perdagangan yang sederhana dan hukum pidana. Ketika Islam bertemu dengan peradaban-peradaban lain, apa yang tercakup dalam syari'at menjadi lebih luas. Permasalahan lain yang yang membutuhkan istihsan pada saat ini seperti Arisan, Koperasi, Transaksi lewat ATM, menanam investasi, Demokrasi dan sebagainya.


III.  KESIMPULAN
Dari uraian diatas maka penulis menyimpulkan bahwa jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa Abu Hanifah, Malik, dan sahabat-sahabat beristihsan tanpa menggunakan dalil-dalil yang syara’, tetapi sebenarnya mereka tidak menerangkan dalil-dalil yang telah mereka maksudkan, dan apa yang sebenarnya mereka kehendaki dengan pendapat itu. Hal ini tidaklah begitu mengherankan, karena masa itu belum lagi terjadi masa penta’rifan istilah-istilah baru. Masa itu adalah masa ijtihad dan mereka itu diakui oleh masyarakat sebagai ahli-ahli ijtihad.
Imam Syafi’i salah seorang ulama yang amat keras mengkritik dan menolak pengistinbathan hukum dengan istihsan, bahkan beliau “mengharamkannya” apabila bertentangan dengan nash. Namun ini bukan berarti membatalkan dalil pemakaian dalil hukum dengan istihsan. Karena setelah diteliti lebih lanjut, ternyata istihsan yang difahami Imam Syafi’i sangat berbeda dengan apa yang diinterpretasikan orang yang memakai dalil istihan ini. Imam Syafi’i memandang bahwa orang yang beristihsan adalah membuat sebuh hukum dengan keinginan hawa nafsu dan mencari yang enak-enak saja dalam hidup. Namun bagi hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian besar Hanabilah istihsan bukanlah seperti apa yang digambarkan oleh Syafi’i. istihsan bukanlah pengistinbathan hukum dengan hawa nafsu, akan tetapi istihsan penetapan sebuah hukum dengan dalil, adakalanya berdasarkan nash, ijma’, qiyas yang dipalingkan, dan lainnya, dan menurut menganggap mereka istihsan adalah cara terbaik yang lebih banyak mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat.
Imam Hanafi tercatat paling banyak menggunakan istihsan dalam beberapa fatwanya. Ia berpendapat dalam posisi istihsan ini, melakukan istihsan lebih utama dari pada melakukan qiyas, pun pengambilan dalil yang lebih kuat diutamakan dari dalil yang lemah.



[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu), cet. III, hal. 304. Lihat lebih lanjut perbedaan pemahaman ini di bagian “kehujjahan  Istihsan.”
[2] Wahbah Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), Jilid. II, cet. 14, hal 18.
[3] ‘Abdul Wahhab Khallaf, mashaadir at-Tayri’ al-Ilami fi ma la nassha fih, (Kuwait, Dar al-Qalam, 1972), cet. III, hal. 69
[4] Al-Sarakhsi, Ushul al-Sarakhsi, ditahqiq oleh Abu al-Wafa al-Afghani, (Beyrut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2005), cet. ke 2, hal. 200
[5] Ibid, hal 200.
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (t.t, Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), hal.263, lihat juga Abdul Wahhab Khallaf, mashaadir,op.cit, hal. 70 dan  Ushul Fiqh al-Islami,op.cit, hal. 19.
[7] Al-Sarakhsi, Kitab Al-Mabsuuth, (Beirut: Dar al-Ma’arif, t.th), jilid. X, hal. 145
[8] Syamsuddin Muhammad ibn Muflah Al-Muqdisi al-Hanbali, Ushul Fiqh, (Riyadh: Maktabah al-‘Abikah, 1999), cet. I, jilid. IV, hal. 1464
[9] Wahbah al-Zuhaili, hal. 19
[10] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (t.t, Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), hal.263
[11] Abdul Wahhab Khallaf, mashaadir,op.cit, hal. 70
[12] Muhammad al-Amin ibn Muhammad al-Mukhtar al-Jakini al-Syanqithi, Mudzakkirah Ushul al-Fiqh ‘Alaa Raudhah an-Naazir, (Makkah al-Mukarramah: Dar ‘Ilm al-Fawaid, 1462 H),  cet. I, hal. 159. Lihat juga Abdul Wahab Khallaf, Ibid, hal. 70
[13] Imam Al-Ghazali, Al-Mushtashnifi Min ‘Ilm al-Ushuli, ditahqiq oleh Muhammad Sulaiman Al-Asyqari, ( Beirut: Muassasah Al-Risalah,1997) , cet. I, hal. 413
[14] Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul al-fikih (Kairo: Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah , 1991), cet. VIII,  hal.79
[15] Lihat lebih lanjut Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, hal. 80-82
[16] Wahbah al-Zuhaili, op.cit, hal. 24-27
[17] Abdul Wahab Khallaf, Mashaadir..., op.cit, hal. 74-75
[18] Abdul Wahab Khallaf, Ushul…., op.cit. hal. 29
[19] Syamsuddin Muhammad ibn Muflah Al-Muqdisi al-Hanbali, op.cit, hal. 1462
[20] Ibid, hal. 1642-1643
[21] Husain Hamid Hassan, Nazhaariyat Al-Mashlahal fi al-fiqh al-islami, (t.t, Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyyah, t.th), hal. 585
[22] Muhammad al-Hudhuri, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-fikr, 2004), hal. 334
[23] Wahbah Al-Zuhaili, op.cit, hal. 29
[24] Ibid, hal. 17
[25] Muhammad Idris Al-Syafi’i, Al-Risalah, ditahqiq dan disyarah oleh Ahmad Muhammad Syakir, (t.t, t.tp, 1309 H), hal. 504
[26] Muhammad al-Hudhuri, op.cit, hal. 334
[27] Wahbah Al-Zuhaili, op.cit, hal. 30
[28] Abdul Wahhab Khallaf, mashaadir….,op.cit, hal. 77
[29] Amir Syarifuddin, op.cit,hal. 319-320

1 komentar:

  1. Worthy for the Best Casino in the World
    The World Casino is one of the best casinos around which you can play on a real to make sure that 벳센세이션 your gaming machine will 킹스 포커 always play 오프 후기 the 해외 배팅 업체 slot machine mgm공식사이트 on

    BalasHapus